Kaidah Fikih: Jenis Kaidah Fikih dan Tingkatannya
Dalam kaidah fikih, terdapat banyak sekali kaidah-kaidah yang diberikan oleh para ulama. Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan dari hal tersebut adalah untuk memudahkan penuntut ilmu dalam memahami permasalahan-permasalahan ilmu fikih. Berangkat dari hal tersebut, ilmu kaidah fikih itu sendiri terdapat jenis-jenis dan tingkatan-tingkatannya, tidak hanya pada satu jenis atau satu tingkatan saja.
Secara garis besar, jenis dan tingkatan kaidah fikih terdapat pada dua hal:
Pertama: dari sisi cakupan kaidah dan luasnya jangkauan terhadap cabang-cabang dan permasalahan fikih.
Kedua: dari sisi kesepakatan atau perbedaan pendapat para ulama terhadap isi (maksud) kaidah tersebut.
Di bawah ini adalah penjelasan dari kedua hal di atas.
Pertama: dari sisi cakupan kaidah dan luasnya jangkauan terhadap cabang-cabang dan permasalahan fikih
Dari poin ini, terbagi menjadi tiga tingkatan:
Tingkatan pertama: Kaidah kubra yang cakupan kaidahnya luas dan menyeluruh terhadap cabang dan permasalahan fikih
Terdapat lima kaidah kubra yang disepakati oleh para ulama,
Pertama:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala perkara tergantung pada tujuannya (niatnya).”
Kedua:
اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّك
“Keyakinan tidak hilang karena keraguan.”
Ketiga:
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Keempat:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار
“Tidak boleh menimbulkan mudharat (bahaya) dan tidak boleh membalas mudharat dengan mudharat.”
Kelima:
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Kebiasaan dapat dijadikan sebagai dasar hukum.”
Inilah lima kaidah kubra yang disepakati oleh para ulama. Sebagian ada yang menambahkannya menjad enam, yaitu kaidah,
إِعْمَالُ الكَلَامِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ
“Mengamalkan makna suatu ucapan lebih utama daripada menelantarkannya (membuangnya).”
Dari kaidah kubra yang telah disebutkan, nantinya akan terdapat banyak kaidah lainnya sebagai turunan dari kaidah-kaidah tersebut. Itulah di antara sebab mengapa kaidah-kaidah di atas disebut dengan kaidah kubra, karena kaidah-kaidah tersebut merupakan inti di antara kaidah-kaidah yang lainnya.
Tingkatan kedua: Kaidah-kaidah yang cakupannya lebih sempit daripada kaidah-kaidah sebelumnya (meskipun tetap bersifat luas dan mencakup banyak hal); di bawah setiap kaidah tersebut terdapat banyak sekali permasalahan fikih yang tidak terhitung jumlahnya
Pada kaidah ini terdapat dua bagian:
Bagian pertama: kaidah yang menjadi turunan dari kaidah kubra
Contohnya adalah kaidah:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَات
“Keadaan darurat dapat membolehkan hal-hal yang dilarang.”
Kaidah ini adalah sebagai turunan atau cabang dari kaidah:
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Contoh lain, kaidah:
لَا يُنْكَرْ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ الاِجْتِهَادِيَّة بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ
“Tidak dapat diingkari bahwa hukum-hukum ijtihadiyah dapat berubah seiring dengan perubahan zaman.”
Kaidah ini merupakan turunan atau cabang dari kaidah:
العَادَةُ مُحَكَّمة
“Kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum.”
Bagian kedua: kaidah yang tidak menjadi turunan dari kaidah kubra
Contohnya adalah kaidah:
الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ، أَوْ بِمِثْلِهِ
“Ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain, atau oleh yang semisalnya.”
Dan juga kaidah:
التَّصَرُّفُ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan mereka.”
Kedua contoh kaidah ini, bukanlah turunan atau cabang dari kaidah kubra.
Tingkatan ketiga: Kaidah-kaidah yang memiliki ruang lingkup sempit dan tidak bersifat umum, karena hanya khusus pada satu bab fikih atau sebagian dari satu bab; dan inilah yang dinamakan dengan dhowabith
Dalam hal ini, seorang ulama bernama Al-Imam Abdul Wahab As-Subki rahimahullah berkata,
(الأَمْرُ الكُلِّي الَّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْئِيَّات كَثِيْرَة تُفْهَمُ أَحْكَامُهَا مِنْهَا) وَمِنْهَا مَا لَا يَخْتَصّ بِبَابٍ كَقَوْلِنِا: (اليَقِيْنُ لَا يُرْفَعُ بِالشَّك) وَمِنْهَا مَا يَخْتَصُّ كَقَوْلِنَا: (كُلُّ كَفَّارَةٍ سَبَبُهَا مَعْصِيَة فَهِيَ عَلَى الفَوْر)
“Kaidah adalah suatu perkara yang bersifat umum, yang mencakup banyak cabang (masalah) yang dapat dipahami hukumnya melalui kaidah tersebut.”
“Sebagian kaidah tidak khusus pada satu bab, seperti perkataan kita, “Keyakinan tidak hilang karena keraguan.” Dan sebagian khusus pada satu bab, seperti, “Setiap kafarat yang sebabnya adalah kemaksiatan, maka wajib segera dilakukan.”
Secara umum, kaidah yang dimaksudkan untuk satu bab tertentu dan mengatur contoh-contoh yang serupa di dalamnya disebut dengan dhabith.
Kedua: dari sisi kesepakatan atau perbedaan pendapat para ulama terhadap isi (maksud) kaidah tersebut
Dari pembahasan ini, terdapat dua tingkatan sebagaimana berikut:
Tingkatan pertama: Kaidah yang disepakati isi kandungannya di antara seluruh ulama dari lintas mazhab
Di antara contoh dari tingkatan pertama ini adalah kaidah kubra, yang disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama, bahkan para ulama dari mazhab yang berbeda-beda.
Tingkatan kedua: Kaidah yang khusus untuk satu mazhab tertentu, atau yang diamalkan oleh sebagian fuqaha (ulama fikih) tetapi tidak diamalkan oleh mazhab atau fuqaha yang lain, meskipun cakupannya luas dan mencakup banyak permasalahan fikih dari berbagai bab
Kaidah-kaidah dari tingkatan kedua ini termasuk penyebab adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih dalam menetapkan suatu hukum, berangkat dari perbedaan cara pandang mereka dalam menyusun illat (alasan hukum) terhadap suatu masalah.
Contoh dari tingkatan ini adalah kaidah:
لَا حُجَّةَ مَعَ الاِحْتِمَالِ النَّاشِئ عَنْ دَلِيْلٍ
“Tidak ada kekuatan hujah apabila masih ada kemungkinan makna lain yang didapatkan dari dalil itu sendiri.”
Kaidah ini diamalkan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah, tetapi tidak diamalkan oleh ulama Syafi’iyah, sementara Malikiyah mengamalkannya dengan batasan-batasan tertentu.
Demikian di antara jenis kaidah fikih dan tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting dari pembahasan ini adalah, mengetahui kaidah kubra yang menjadi inti dari kaidah-kaidah fikih lainnya.
Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Faidah Mengenal dan Mempelajari Kaidah Fikih
***
Depok, 20 Rabi’ul akhir 1447/ 12 Oktober 2025
Penulis: Muhammad Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
- Al-Mumti’ fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah, karya Prof. Dr. Musallam bin Muhammad Ad-Dusary.
- Al-Wajiz fi Idaahi Qowa’id Al-Fiqhi Al-Kulliyah, karya Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad.
Artikel asli: https://muslim.or.id/109836-kaidah-fikih-jenis-kaidah-fikih-dan-tingkatannya.html